Industri
elektronik adalah salah satu industri yang perkembangannya paling pesat
di seluruh dunia. Akibatnya, tidak kurang dari 1% timbulan sampah di
negara-negara maju adalah limbah elektronik. Jumlah ini diperkirakan
akan terus meningkat. Di Amerika saja, limbah e-wasteini terhitung mencapai 1-3% dari total timbulan sampah. Data di Eropa menunjukkan, jumlah e-waste
bertambah 16-28% setiap 5 tahun, yang berarti adalah 3 kali lebih cepat
dari rata-rata pertambahan total sampah setiap tahunnya. Di negara
berkembang, proporsinya mencapai 0.01-1% dari total timbulan. Namun di
negara-negara seperti India dan Cina, meskipun timbulan e-waste masih di bawah 1 kg perkapita, jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan eksponensial.
1) WEEE Directive (EU, 2002a)
“Electrical or electronic equipment which is waste including all components, subassemblies and consumables, which are part of the product at the time of discarding.” (Sampah elektrik atau peralatan elektronik yang dianggap limbah mencakup seluruh komponen, bagian rakitan dan bahan habis pakai, yang merupakan bagian dari produk pada saat pembuangan).
2) Argentina
E-waste dinyatakan sebagai “peralatan elektronik dan elektrik yang dibuang” dan limbahnya termasuk baterai yang telah habis masa pakai diklasifikasikan sebagai sampah special management dan wajib dikelola.
3) Malaysia
Sampah e-waste dikategorikan sebagai sampah dari rangkaian elektrik dan elektronik yang di dalamnya terdapat komponen-komponen seperti aki, mercury switches, kaca LED dan activated glass lainnya maupun kapasitor PCB, atau terkontaminasi oleh kadmium, merkuri, timbal, nikel, krom, tembaga, litium, perak, mangan, dan polychlorinated biphenyl.
4) Organization for Economic Co-operation and Development (OECD, 2001)
WEEE/E-waste didefinisikan sebagai setiap peralatan yang menggunakan catu daya listrik yang telah mencapai akhir masa pemakaiannya.
5) Basel Action network (Puckett and Smith, 2002)
E-waste meliputi cakupan alat-alat elektronik yang luas dan terus bertambah, dari peralatan rumahtangga seperti kulkas, air conditioner, telepon genggam, audio pribadi, sampai computer yang telah dibuang oleh penggunanya.
Sejak
abad ke-21, sektor elektronik telah mengalami peningkatan yang
signifikan dalam hal regulasi lingkungan. Meskipun demikian, mayoritas
peraturan ini hanya berfokus pada syarat-syarat keamanan dan kualitas.
Revolusi teknologi global adalah pemicu cepatnya peningkatan masalah
mengenai e-waste. Kebutuhan akan daur ulang alat elektronik
yang tidak lagi digunakan sangat mendesak, seiring dengan perkembangan
masyarakat yang terus memproduksi software baru yang lebih kecil, lebih
cepat dan efisien. Pembuangan e-wasteyang aman terhadap
lingkungan telah menjadi isu penting selama beberapa dekade terakhir.
Kemajuan teknologi dan peraturan di semua level, dapat mengubah daur
ulang e-waste menjadi industri multi-miliar dolar. Keprihatinan lingkungan mengenai e-waste berasal dari banyaknya senyawa yang diketahui memiliki dampak berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan makhluk hidup.
Pada
tahun 1990an, pemerintahan Eropa, Jepang dan beberapa negara bagian
dari Amerika Serikat telah memiliki ide tentang sistem institusi
daur-ulang untuk e-waste. Namun, kapasitas yang dibutuhkan
untuk menanganinya belum tersedia. Akibatnya mereka mulai mengekspor
limbah tersebut ke negara-negara berkembang yang masih sangat kurang
dalam aplikasi perlindungan buruh dan lingkungan. Hal ini dikarenakan
mahalnya biaya daur ulang e-wastedi negara-negara maju
tersebut. Misalnya, biaya daur ulang monitor komputer saja, di Amerika
Serikat harganya dapat mencapai 10 kali lipat daripada di Cina. Contoh
pengiriman e-waste illegal telah terdeteksi oleh sejumlah organisasi
non-profit seperti Basel Action Network (BAN). BAN telah mengidentifikasi dari pihak berwenang di Hong Kong bahwa diperkirakan ada 50-100 kontainer e-waste
yang datang memasuki pelabuhan setiap harinya. Bahkan baru-baru ini,
tepatnya pada bulan Maret 2010, Indonesia telah menerima 9 kontainer
monitor CRT lama dari sebuah perusahaan daur ulang yang berlokasi di
Massachusets.
0 comments:
Post a Comment